Baru baru ini membaca postingan dari beberapa sahabat tentang bagaimana kemiskinan itu adalah buah dari yang tumbuh dari pohon kemalasan dan kebodohan.
Intinya, hanya orang malas dan bodoh yang miskin, jika saja mereka mau bekerja keras dan berusaha, tidak akan miskin. Terus terang saya agak kaget, membaca tulisan ini, yang walaupun di kemas dengan bahasa yang apik, sepertinya ada sesuatu yang mengganjal ketika mencernanya.
Ada dua kiriman dari sahabat-sahabat itu, yang pertama adalah artikel yang mengambil dari buku Tom Corley, seorang penulis yang katanya melakukan survey selama bertahun tahun tentang kebiasaan orang kaya dan orang miskin, lalu kemudian dia menuliskannya dalam sebuah buku, kebiasaan orang kaya yang tidak dimiliki oleh orang miskin itu di tuliskannya dalam daftar yang cukup panjang, dan banyak yang ga nyambung, misalnya 80% orang kaya ngucapin selamat ulang tahun, dibanding orang miskin yang hanya 11% [lha, gimana mau ngucapin selamat ulang tahun. Kalau lahirnya aja nggak tahu kapan…], atau orang kaya lebih banyak yang gosok gigi dibanding orang tak punya, berikut sebagian dari daftar kebiasaan orang kaya yang tidak dimiliki orang miskin menurutnya;
- Tidak makan junk food/fast food, tapi makan yang sehat sehat.
- Tidak berjudi, orang kaya tidak berjudi tapi melakukan investasi, atau juga spekulasi dengan kalkulasi yang cermat.
- Rajin olahraga – minimal jogging, naik sepeda, renang, atau golf.
- Membuat daftar kegiatan yang akan dilakukan – melakukan perencanaan.
- Rajin membaca – terutama buku buku non fiksi, dan membuat anak anak mereka membaca buku buku non fiksi juga.
- Membiasakan anak anak mereka melakukan kerja bakti – [Ini agak aneh, apa coba hubungannya dengan kaya/miskin, mungkin si penulis ingin bilang orang kaya itu lebih baik hati?]
- Tidak menonton program reality tv atau acara gossip [hanya 6% orang kaya yang nonton, tapi 78% orang miskin yang nonton].
- Bangun tidur 3 jam sebelum kerja [cuman si Tommy Boy ini ga bilang, atau sengaja nggak melihat bahwa pada umumnya orang miskin kerjanya mulainya lebih pagi]
Dan yang kedua adalah artikel dari pendiri situs belanja online paling besar di Cina – Alibaba, Jack Ma.
Jack Ma ini memang fenomenal, seorang pemuda yang menjadi trilyuner di usia 30an dengan memulai dari nol. Jack Ma berkata bahwa orang miskin yang paling susah untuk diajak bisnis:
- Jika anda kasih gratis, mereka akan bilang ada jebakan betmen
- Jika kita bilang hanya butuh investasi kecil, mereka akan bilang dapetnya recehan.
- Jika kita bilang coba hal baru, mereka akan bilang kita ga ada pengalaman.
- Jika kita bilang model bisnisnya tradisional, mereka jawab susah ngegarapnya.
- Jika kita bilang model bisnisnya baru, mereka timpali “itu mah MLM”.
- Suruh mereka kerja di kantor, mereka bilang ga merdeka.
- Suruh mereka kerja di startup, mereka jawab nggak ada keahlian.
Mereka semua punya suatu ciri khas, yaitu; 1. Apa apa tanya mbah gugel. 2. Mendengarkan hanya dari teman teman yang satu irama dengan mereka, 3. Berpikir dan berdebat seakan lebih dari professor di universitas, tetapi berkarya lebih sedikit orang buta.
Coba tanya saja pada mereka, apa yang bisa mereka kerjakan. Mereka tidak akan bisa menjawabnya. Kesimpulan saya [Jack Ma], daripada hanya menghabiskan waktu memikirkan sesuatu, kenapa tidak di kerjakan saja.
Orang miskin itu gagal karena satu perilaku standar: Seumur hidupnya dilakukan hanya menunggu.
Sampai disini bisa dilihat bahwa argumen Jack Ma lebih canggih dibanding sama argumen Tom Corley, dan satu benang merah dari kedua artikel tersebut adalah bahwa orang jadi miskin karena sikapnya, kemiskinan lahir dari perilaku seseorang, yang artinya kalau seseorang itu miskin, ya itu salahnya sendiri, dan ini yang memotivasi saya buat ngetik kisah ini, apalagi di tempat saya nyawah sekarang, buanyak banget kemiskinan dimana mana.
Nuansa yang saya rasakan dari artikel yang dibawa oleh teman dan di share oleh lebih banyak orang ini adalah semua tergantung pada orangnya dan blaming the victim, kasarnya “kalau lu miskin ya itu salah lu, bukan lu apes, tapi karena lu males!”. Dan ini adalah kenapa saya ga setuju dengan apa yang dibawa oleh teman saya ini.
Yang pertama adalah seakan akan faktor lingkungan diabaikan atas kemiskinan seseorang, misal saja Jack Ma atau Tom Corley lahir sebagai budak di Afrika abad pertengahan, maka bisa saya bilang msutahil dia bisa lepas dari kemiskinan.
Yang kedua adalah faktor “jalan langit” atau kata temen saya, cecep, faktor nasib. Karena kalau semua tergantung pada orangnya, kenapa juga ga semua orang kaya, kenapa masih ada kemiskinan dimana mana? Misal lo lahir di keluarga kaya, maka sejak kecil lo akan mendapatan akses pendidikan lebih baik, akses ke fasilitas kesehatan, dan akses modal juga, yang sampai lo dewasa, peluang lo akan jauh lebih gede dari si budi kecil yang lahir di kolong jembatan, dan harus jual Koran di simpang tugu pancoran.
Banyak sekali teman saya dari kelas menengah yang “lari di tempat”, mereka keluarga kecil, dimana suami dan istri dua duanya bekerja dengan jam kerja lebih dari 50 jam seminggu, yang menghabiskan waktu di kantor dan komuter, dan nyaris tidak ada waktu lagi untuk mendidik dan mengasuh anak, hanya demi bisa bayar kontrakan dan makan buat bulan depan.
Lalu bagaimana dengan kisah hidup Jack Ma yang memulai bisnis dari Nol lalu berhasil jadi orang paling kaya di Cina padahal bukan berasal dari keluarga tajir? Saya nggak membantah bahwa ini bisa saja terjadi, tapi ya itu, ini kejadian khusus, tiap beberapa waktu selalu akan ada orang orang jenius yang lahir dari keadaan khusus, tapi jumlahnya sedikit, dan malangnya, kita lebih sering ingat keberhasilan dan lupa akan kegagalan.
Dan memang saya melihat banyak orang miskin yang memiliki kebiasaan buruk seperti mabuk dan judi, atau melakukan tindakan tindakan yang tidak rasional, misalnya menghabiskan dana bantuan/tunjangan kemiskinan untuk makan lobster di restoran mahal. Pada awalnya saya juga ingin segera menyalahkan mereka sebagai tidak bertenggung jawab, sampai akhirnya saya mendapat penjelasan bahwa itu adalah mekanisme dari orang miskin untuk melarikan diri dari kemiskinan, atau paling tidak lari kenyataan hidup miskin, kalau pakai bahasa teman saya yang satu lagi, mereka membumbui penderitaan jangka panjang dengan kesenangan sesaat.
Pada awalnya saya heran ketika melihat belasan antena televisi menyumbul dari bawah kolong jembatan di ciliwung, jalan Gatot Subroto, tetapi sekarang tidak lagi.
Saya jadi ingat dengan kata kata mendiang kakek saya yang mengutip Imam Ali a.s., “manusia itu ibarat rumah, dan jika kemiskinan masuk lewat pintu, maka iman akan keluar lewat jendela”, serta “jika kemiskinan itu berbetuk manusia, maka aku akan membunuhnya”, dan saya memimpikan masa depan dimana mesin dan robot yang akan bekerja dan manusia bebas berkarya tanpa khawatir besok makan apa.
Referensi:
https://www.amazon.com/Rich-Habits-Success-Wealthy-Individuals/dp/1934938939?ie=UTF8&tag=viglink126400-20
https://vulcanpost.com/7702/jack-ma-youre-still-poor-35-deserve/35131/jack-ma-advice-no-good/
http://otherwords.org/our-poverty-myth/
https://en.wikipedia.org/wiki/Poverty_in_India
http://www.efficientlifeskills.com/20-shocking-differnces-in-daily-habits-of-the-rich-vs-poor/
http://www.demos.org/publication/running-place-where-middle-class-and-poor-meet
https://interculturalmeanderings.wordpress.com/2015/06/24/foolish-spending-habits-of-the-poor-now-explained-by-economists/
http://sayasinthing.blogspot.sg/2011/07/siapa-bilang-kami-tidak-ada.html
http://www.economist.com/news/leaders/21701119-what-history-tells-us-about-future-artificial-intelligenceand-how-society-should
Tinggalkan komentar